Jumat, 25 November 2016

25 November. Antara Basuki, Rush Money, Lilpaly



Setahun terakhir ini saya menekuni pekerjaan yang boleh dibilang mengasyikan lagi memberikan saya banyak pelajaran berharga. Tiada yang lebih menyenangkan daripada bermain, mengupdate dan menulis status di media sosial untuk kemudian mendapatkan uang dari situ. Yup, saya berprofesi sebagai content writer merangkap social media staff. Mungkin masih terdengar awam buat calon mertua ketika nanti saya ditanya bekerja di bidang apa, tapi percayalah banyak profesi aneh yang nggak pernah terbayangkan sebelumnya sedang menanti diujung sana untuk kamu yang bosan menjadi teller Bank atau staff accounting perusahaan.


Bekerja sebagai social media staff membuat saya kudu menyimak trend-trend sosial media terbaru untuk dipelajari dan jika memungkinkan diaplikasikan kedalam kampanye digital dari perusahaan tempat dimana saya bekerja. Maka dari itu setiap pagi saya rajin memantau Facebook dan juga Youtube. Karena setelah perlahan Twitter ditinggal oleh peminatnya, praktis dua platform itu sekarang yang paling ramai dijadikan lahan promosi, selain Instagram yang ramai-ramai “diperkosa” oleh akun-akun peninggi badan dan pembesar penis instan.


Memantau Facebook selama 8 jam sehari, lima hari seminggu membuat saya betul-betul hafal akan jenis postingan yang sedang naik daun di lini masa media sosial racikan seorang kafir Yahudi bernama Mark Zuckerberg ini. Sekitar dua bulan lalu berbagai macam variasi cerita kurang lucu dari tokoh rekaan bernama Mukidi benar-benar mendapat panggungnya. Mulai dari Mukidi yang melihat onta lah, bertemu orang Cina lah, Mukidi coli lah, hingga surat edaran resmi yang ditandatangani oleh Mukidi. Namun cerita Mukidi sedikit meredup sesaat setelah tokoh bernama Basuki (yang ini beneran bukan rekaan) gantian mencuri pentas. Konon (boleh dibalik) tokoh keturunan Tionghoa ini merebut hampir seluruh frekwensi perhatian massa pengguna Facebook.


Alkisah dimulai dari dipostingnya sebuah video singkat Basuki yang sedang memberi entah ceramah, himbauan, kampanye, atau kelas pengganti Ilmu Pengantar Politik di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.  Dalam video itu terlihat Basuki dengan rada dongkol mengucapkan kata-kata maut yang membawa masalah demikian besar bagi jabatannya dan bagi hubungan silaturahmi masyarakat Jakarta bahkan Indonesia. Terlepas dari perkara apakah kata-kata tersebut termasuk penistaan agama ataupun bukan, yang jelas penonton acara tersebut nampak anteng dan terkendali. Dan hampir tidak ada satu orangpun yang menyadari isi video tersebut secara lengkap.


Tetapi semua berubah saat negara api mulai menyerang. Seorang tokoh bernama Buni (nggak pakai Bugs) ikut mengunggah video tersebut beserta caption yang menurut pihak berwajib termasuk dari tindakan provokasi. Karena percayalah tidak ada satupun hater dari Basuki berminat menonton video si Basuki open mic di Kepulauan Seribu yang diposting oleh akun Pemda DKI Jakarta. Namun dengan caption yang menggugah, video dengan durasi yang nggak lebih panjang dari satu adegan tembak-tembakan di film Rambo 4 itu menjadi sangat click-able.


Alhasil bola salju yang menggelinding semakin besar atas peran serta netizen yang beriman, berpendidikan tinggi, berpenghasilan diatas UMR, punya akses internet, tetapi tidak diimbangi kecerdasan emosional yang mumpuni. Singkatnya kita sebut saja mereka kelas menengah ngehek. Suatu kelas yang tercipta dari tindakan represi sebuah rezim pemerintahan terhadap kebebasan berpendapat dan berpolitik masyarakat. Kelas menengah ngehek ini bak jamur yang tumbuh dimusim hujan. Mereka berkembang biak pesat seiring murah serta mudahnya akses internet menjangkau. Kehidupan yang nyaris mapan (berkat murahnya cicilan rumah dan mobil yang ditawarkan perusahaan leasing si raja riba nan haram pun dilarang agama), membuat sebagian besar kelas menengah ngehek ini merasa sebagai “pemenang” di ibukota karena punya banyak waktu untuk sekedar scrolling-scrolling kursor akun Facebook disela-sela jam kerja, sambil menunggu kereta atau Transjakarta, di dalam Taksi online, ataupun sambil menunggu si kecil pulang les balet.


Bola salju yang besar itu akhirnya bermuara kepada sebuah demonstrasi (sebagian menyebutnya Jihad Konstitusional, meskipun di Islam sendiri tidak ada satupun ajaran tentang demo, apalagi mengakui serta menjalanakan sebuah sistem Thagut demokrasi yang jauh dari khilafah) besar-besaran pada tanggal 4 November 2016 yang menyuarakan tuntutan sebagian kaum Muslimin yang ingin Basuki diproses secara hukum terkait dengan ucapannya di Pulau Seribu tempo hari. Diluar dari aksi rusuh beberapa oknum yang tertangkap kamera sedang mengacungkan bambu kepada aparat, harus diakui demonstrasi 411 ini berjalan baik dan terorganisir. Salut dengan beberapa ormas yang mampu meredam suasana panas yang bisa saja meletus menjadi kerusuhan masal.


Beberapa hari kemudian Basuki lantas dinaikan statusnya menjadi tersangka oleh pihak kepolisian. Tentunya ini membuat remuk hati para lelaki pemburu gadis diluar sana yang telah jatuh bangun Bekasi-Bintaro namun statusnya tidak jua naik menjadi pacar. Haruskah mereka juga melakukan demonstrasi di depan istana untuk sekedar diakui keberadaannya dan di tag namanya dalam sebuah postingan berisi lirik lagu Raisa “Could it be”.


Singkat cerita Basuki pun mendapat hukuman sosial yang sangat berat. Statusnya sebagai Gubernur non aktif dan Cagub dari partai dengan logo mirip Chicago Bulls ini menjadi serba salah. Hasrat menggebu-gebu dari pendukungnya harus bertentangan dengan para korban gusuran dan hater yang semakin sakit hati setelah peristiwa video penistaan tersebut. Tak cukup hanya disitu, musuh Basuki semakin mendesak dan menebar opini di sosial media tentang harusnya disegerakan penangkapan bagi si tersangka penista agama. Isyu tentang aksi demo susulan langsung menyebar luas untuk mempercepat langkah pihak berwajib memenjarakan Basuki.


Tapi tampaknya demonstrasi bukanlah langkah yang disetujui semua pihak yang merasa tersinggung atas penistaan agama yang dilakukan Basuki. Beberapa ormas keagamaan yang cukup besar di Indonesia telah menyatakan sikap untuk tidak lagi turun ke jalan menyuarakan pendapat dan menerima serta menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Mungkin itu pula yang menyebabkan lawan Basuki mulai mencari narasi lain untuk tetap menghangatkan lini masa sosial media. Ibarat satu pleton pasukan yang habis memenangkan sebuah pertempuran besar, semangat dan moral prajurit harus dijaga (bahkan dipompa terus) agar tidak kendor untuk terjun ke medan perang yang lebih menentukan. Macam-macam isyu lantas ditebar disegala penjuru dunia maya. Salah satu yang menurut saya paling spektakuler sekaligus musykil  adalah “Gerakan tarik uang massal untuk menciptakan Rush Money”.  Trik yang satu ini memang elegan betul. Jauh dari kesan proletar yang biasa melakukan long march penuh keringat bercampur sisa-sisa mijon disudut bibir para penuntut keadilan. Gerakan ini diklaim milik kelas menengah yang digenerelisasi sebagai kelas dengan kouta terbanyak di kota-kota besar Indonesia.


Untuk yang masih awam, singkatnya rush money adalah penarikan dana besar-besaran dari bank secara bersamaan dan mendadak. Tujuannya tentu saja menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang sangat mungkin menyulut kerusuhan dan sukur-sukur menjatuhkan Presiden yang pake jaket bomber. Mungkin penggagas gerakan rush money ini adalah seorang tokoh yang mencoba nostalgia dengan peristiwa kerusuhan Mei 98 beberapa waktu silam. Masih terlintas dalam benak ketika bapak saya menarik semua uang keluarga kecil kami yang tidak seberapa dari sebuah bank swasta yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa lalu memindahkannya ke bank pemerintah yang katanya relatif lebih aman. Peristiwa tersebut terjadi menyusul tragedi kemanusian terbesar kedua setelah pembantaian komunis tahun 65-69. Ribuan warga keturunan Tionghoa harus menjadi tumbal mengiringi hancurnya sebuah orde kepemimpinan seorang Presiden legendaris Republik ini.


Sekilas ide rush money memang terdengar renyah. Dan benar adanya, isyu tersebut langsung dikunyah tanpa ampun oleh –lagi lagi- kelas menengah ngehek sebagai kaum yang mendominasi frekwensi lini masa dunia maya. Ancaman penarikan sejumlah uang secara beramai-ramai ini bahkan telah dibuat skema hitung-hitungannya. Jika kira-kira sebanyak 5 juta orang menarik 2 juta rupiah dari bank, maka bank akan kelimpungan mencari dana talangan untuk membayarkan uang nasabahnya. Saat itulah rush money terjadi, dan suasana menjadi kisruh. Kemudian berturut-turut kepercayaan terhadap perbankan menurun drastis, suku bunga anjlok, rupiah melemah, inflasi gila-gilaan, harga barang melonjak, AA Gatot keluar penjara, Dimas Kanjeng buka kursus gandain duit, Young Lex mendadak miskin, dan Coldplay beneran konser di alun-alun Nganjuk dengan artis pembuka Angel Lelga.


Gimana?? Eneg kan bayangin Coldplay harus nunggu di backstage sambil ngunyah panadol 4 biji langsung karena pusing ngeliat konser maha dahsyatnya dibuka oleh artis tanggung tapi punya tas mahal bingits yang mantan istrinya Chris Martin aja nggak punya. Makanya penjarain deh si Basuki kalo nggak mau ilustrasi peristiwa diatas bener-bener kejadian. Kira-kira begitulah ancaman dari segelintir orang yang merasa jika rush money adalah jalan keluar terbaik dari segala macam masalah.


Jujur saja, saya bukan orang yang gemar mengamati masalah ekonomi morat-marit bangsa ini. Saya yakin para pendahulu kita, para leluhur, jungkir balik pating pecotot membangun fondasi ekonomi negeri yang baru saja merdeka seumur jagung. Salah seorang founding father kita, Bung Hatta adalah seorang yang sangat ekonomis. Ya, saya ulang sekali lagi, dia adalah seorang yang sangat mencintai bidang ekonomi sekaligus penganut aliran ekonomis. Bagaimana tidak, untuk membeli sepasang sepatu Bally saja ia harus rela menabung dan pada akhirnya hanya menjadi angan karena keinginan tersebut tidak pernah terwujud hingga akhir hayatnya. Jangan coba-coba bandingkan pengorbanan Si Bung dengan pejabat ataupun pelaksana roda pemerintahan yang kita kenal sekarang. Apalagi sampai harus merobohkan sistem ekonomi yang sudah beliau rintis dengan darah juga air mata dan dibangun sedemikian rupa hingga detik ini hanya karena isyu rush money. Jadi buat saya isyu yang satu ini benar-benar menggelitik untuk cepat ditanggapi.


Saya pun kemudian mencoba mensimulasikan apa yang terjadi jika ajakan rush money tanggal 25 November benar-benar dilaksanakan. Tapi di sisi lain saya juga berkeyakinan bahwa satu-satunya yang bisa menggoncang perekonomian adalah pemilik perekonomian sendiri. Dalam arti si bankir itu sendiri, dan segelintir orang-orang tak bernama yang wajahnya tidak pernah muncul dalam daftar orang terkaya di majalah Forbes. Silahkan kamu googling jika tidak percaya, negara yang selama ini kita anggap sebagai Superpower saja seperti Amerika, Jepang, dan Perancis misalnya memiliki hutang yang sangat banyak pada bank dunia. Negara-negara tersebut bukanlah negara bodoh yang mayoritas penduduknya meributkan masalah moral serta menyebar broadcast message tentang obat yang membuat wanita mandul sehingga bebas digagahi. Mereka adalah sekumpulan orang-orang produktif yang ilmuwannya telah menemukan obat kanker, teori fisika kuantum dan mengetahui keberadaan Eddy Tansil yang buron sejak zaman orba.


Lalu jika rush money memang bisa dikaryakan untuk menumbangkan rezim yang korup ataupun tidak memihak rakyat, tentunya revolusi Perancis sudah terjadi tiga kali sejak zaman Louis XIV yang beken dengan semboyan “Negara adalah saya”. Atau sekalian saja kemarin orang Amerika berbondong-bondong ngambil duit via atm lima ribu dollar seorang supaya keadaan jadi kacau dan Donald Trump batal jadi Presiden. Tapi faktanya, memang lebih gampang menggalang otot di jalan sambil bawa spanduk teriak-teriak pake toa, dan sukur-sukur dapet nasi kotak ayam goreng tepung. Itu pula yang dilakukan oleh penduduk di beberapa negara bagian Amerika yang memihak pada Hillary Clinton. Tapi apa hasilnya?? Ya jadi bahan berita doang. Masuk tipi, siaran berita malem yang ditayangin habis serial The Walking Dead season 7.


Yang terjadi tetap saja segilintir penguasa dan oknum-oknum bankir dalang dibalik penyedia dana segar bagi negara sama sekali tidak tersentuh. “People Power” cuma semboyan basi yang terakhir kali diusung Musso saat memimpin pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Di zaman teknologi informasi ini        -dimana kelas menengah ngehek bisa saja kritis ngomongin teori ekonomi kerakyatan menggebu dan mengkritik pemerintah yang tidak pro rakyat miskin sambil ngopi cantik di Starbucks-, yang punya power itu bukan people, tapi money, Bos. Sekali lagi, money. Apanya yang mau di-rush kalo money kita aja setiap masuk tanggal 25 sebanyak 4 juta, langsung ditarik lagi 3 juta 900 ribu. Itu juga terpaksa disisain 100 ribu karena kebijakan bank harus menyisakan uang untuk administrasi.


Dan pada akhirnya memang itulah yang terjadi. Rush money cuma sekedar omong kosong alias lip service para elite-elite yang memang berniat menjaga semangat tetap berkobar di dada para prajurit pengawal kasus hukum Basuki. Ibarat satu kompi pasukan Amerika yang sukses merebut sebuah pangkalan udara kecil di pinggiran Guadalcanal pada perang Pasifik. Kemudian jendral-jendral di atas kapal perang sambil minum cocktail memerintahkan bagian humas untuk cetak selebaran perihal “Tempur abis-abisan” karena sebentar lagi perang bakalan kelar. Padahal faktanya perang masih jauh dari rampung dan si tentara yang kadung semangat antara napsu campur termotivasi menjadi garang dan trengginas menggilas semua musuh yang tampak. Kalaupun pun pada akhirnya para prajurit gagal dan tetap kalah, ya nggak masalah. At least para jendral jadi tahu batas  loyalitas serta kegilaan dari pasukan martirnya. Bahasa ilmiahnya studi kasus.


Hari ini tanggal 25 November saya menulis tulisan singkat ini sambil menunggu akankah rush money benar-benar terjadi dan menggoncangkan perekonomian sebagaimana digambarkan oleh mentri Sri Mulyani di berita-berita. Sambil menunggu dan menunggu (karena saya sendiri belum gajian jadi tidak bisa ikut partisipasi menarik uang) saya jadi teringat kalau hari ini adalah hari penentuan dari langkah Timnas Garuda di pegelaran piala AFF 2016 yang sangat bergengsi di Asia Tenggara itu.


Setelah hiatus dari segala macam pertandingan internasional karena terkena sanksi FIFA, penampilan Timnas senior Indonesia ini pastinya ditunggu oleh jutaan pasang mata para supporter setianya. Namun nasib kurang baik tampaknya merundung Evan Dimas Cs diawal-awal perhelatan. Setelah dihajar Thailand 4-2 pada partai pembuka, garuda kebanggaan kita harus menunda hasrat sejenak setelah kemenangan yang sudah begitu tersaji di depan mata harus pupus karena seorang “suami muda” yang nggak tahan untuk membobol gawang si Meiga. Apa boleh bikin, Indonesia harus rela ngejogrog di urutan paling bawah klasemen dengan hanya mengoleksi 1 poin saja.  Langkah Timnas semakin sulit lagi karena partai terakhir mempertemukan Indonesia dengan Singapura yang juga punya misi wajib menang demi tiket semifinal.


Melawan Singapura bukanlah hal yang mudah, walaupun bukan sesuatu yang mustahil juga. Persis seperti Filipina, Singapura juga diperkuat oleh legiun asing yang telah dinaturalisasi. Satu dekade terakhir naturalisasi memang dirasa cukup mengangkat pamor tim-tim sepakbola Asia Tenggara. Indonesia pun tidak mau kalah dan lantas menasionalisasi Christian Gonzales dan Irfan Bachdim yang langsung mencuri perhatian penonton AFF tahun 2010 silam. Untuk Piala AFF kali ini amunisi naturalisasi tim garuda diisi oleh Stefano Lilipaly. Pemain yang pernah bermain untuk timnas Belanda U-15 ini akhirnya memilih untuk membela Indonesia sebagai tim nasional level senior.


Penantian Fano (panggilan akrab Lilpaly) yang batal bermain untuk Timnas U-23 di Sea Games 2011 karena masalah cedera akhirnya membuahkan hasil. Sebuah sepakannya menembus pertahanan penjaga gawang Singapura yang tampil apik sepanjang permainan. Sepakan kencang tersebut bukan hanya membuat Singapura harus pulang kandang lebih cepat, tapi juga menyepak segala isyu miring tentang rush money, dan tentang persoalan keharmonisan kita dalam berbangsa. Menit ke 85 pertandingan melawan Singapura tadi Lilipaly membuktikan bahwa melalui sepakbola kita semua bisa menjadi saudara (lagi). Senasib sepenanggungan, berdiri di bawah langit, memijak tanah, dan hormat kepada bendera yang sama. Indonesia. Saya mungkin adalah orang yang tidak mendukung aksi 411 kemarin, dan kamu yang membaca tulisan ini, bisa saja adalah pendukung Habib Rizik dan kawan-kawan ormasnya. Tapi saya yakin 25 November ini kita bersama berteriak, bersorak-sorai menyambut gol Stefano Lilipaly   –seorang warga negara keturunan- yang mengantarkan kaki bangsa ini untuk melangkah lebih jauh di pentas sepakbola Asia Tenggara.


Alih-alih ada rush money, tanggal 25 November malah dikenang sebagai salah satu pertandingan Timnas Garuda yang mengundang adrenaline rush bagi penikmat sepakbola tanah air. Tak ada orang berbondong-bondong menarik uang dari bank. Tidak ada kerusuhan yang tercipta akibat stabilitas ekonomi yang terganggu. Tidak satu pejabat pun yang dikudeta malam ini. Dan Coldplay  tetap tampil di Singapura, negara kecil kaya raya yang malam ini kita buat bertekuk lutut tidak berdaya.


Akhir kata, terimakasih Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly, kalian telah mengingatkan kami untuk tidak terlalu banyak scrolling Facebook sehingga lupa  bersenang-senang di dunia nyata.


Salam Olahraga!!






Minggu, 02 Oktober 2016

Kata Siapa Aw Karin Merusak Moral Anak Bangsa??

Kata siapa Aw Karin merusak moral anak bangsa??


Iya saya tanya beneran, dari segi mana Aw Karin merusaknya??

Tunggu dulu, sebelum kita sama-sama menjawab pertanyaan diatas, perlu saya sampaikan disini bahwa saya seratus persen bukan Kariners, Sahabat Karin, Karin Holic atau apalah nama penggemarnya tersebut. Saya nggak dibayar sepeserpun untuk bikin tulisan ini. Saya juga bukan antek Yahudi yang diutus CIA untuk kolaborasi dengan remaja-remaja mental jeblok bangsa Indonesia dalam rangka mendegradasi moral para kawula muda. Saya cuma mengajak kamu, kalian semua untuk berani melihat suatu masalah dari sisi yang lain, beda dan mungkin terabaikan sebelumnya. Karena seperti yang dikatakan oleh filusuf kontemporer Nigeria, Nwankwo Kanu “Orang yang paling bodo ialah orang yang hanya punya satu sudut pandang”. Hal tersebut juga diamini oleh pakar ilmu sosial asal negeri kincir angin, Prof. Dr. Weisley Sjeneider yang berteori bahwa ketololan paripurna seringkali diakibatkan oleh pengkultusan satu sudut pandang yang menjadi dogma dalam menjalani kehidupan. Jadi sekali lagi saya menegaskan bahwa saya sungguh-sungguh netral dalam masalah fenomena media sosial yang pelir, eh pelik ini.

Seperti saya singgung diatas, saya tidak pernah berniat menjadikan kasus Aw Karin yang menjadi sorotan publik dunia maya ini menjadi sebuah tulisan. Entah saya yang kuper atau sering kehabisan paket internet, saya termasuk yang rada telat menyadari sepak terjang remaja yang dadanya nggak begitu besar itu. Dikabarkan Aw Karin sering mengunggah video asyik masyuk penuh mahligai cinta bersama si pacar (yang sekarang sudah jadi mantan), sehingga dikhawatirkan adik-adik follower dan subscriber dari Karin menjadi terinspirasi untuk ikutan berdada kecil namun seringkali tampak pongah.

Remaja putri ini juga diberitakan sering mengumpat kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan di dalam rumah ibadah, walaupun sebenarnya Karin melakukannya di tempat yang biasa aja sih sebenernya buat teriak-teriak “ANJING!!” sampe kerongkongannya keset. Intinya semua perilaku itu hanya sebatas berita dan video unggahan di dunia maya, secara nggak ada satupun pihak yang merasa terganggu dengan postingan Karin yang pernah mengenalnya di dunia nyata.

Sayapun akhirnya pertama kali melihat video Aw Karin beberapa hari yang lalu ketika seorang teman memperlihatkan sebuah video klip dengan konsep dan editing yang “elek blas” di situs Youtube. Dalam video itu terlihat seorang pria diju’ung masa remaja berkeluh kesah soal kemunafikan lingkungan sosial lewat musik rap. Di bagian refrain lagu, munculah sosok remaja putri yang tampak sangat Agnes Monica wannabe -lengkap dengan seragam zumba dan baju jaring- melantunkan bait demi bait keresahan jiwanya kala dijustifikasi sebagai orang tak bermoral oleh sebagian orang yang sangat mungkin tidak bermoral juga. Gadis (seandainya masih..) itu bernama Karina Novilda a.k.a Aw Karin yang femes itu.

Saya suka musik rap dan hiphop, tapi sayangnya saya nggak suka Young Lex dan juga Aw Karin. Alhasil baru satu menit video diputar saya kontan embung menonton sampai habis. Setelah itu saya benar-benar lupa akan eksistensi Karin yang konon (jangan dibalik) merusak moral anak bangsa itu. Sampai hari Sabtu siang pacar saya bertandang ke rumah. Seperti biasa kami membahas dan berbicara hal-hal intelek seperi suku bunga IHSG, Tax Amnesty dan perseteruan antara Kiswinar dan striker Juventus Mario Mandzukic. Disela-sela perbincangan tiba-tiba pacar saya menceritakan sebuah kabar dukacita. Salah seorang temannya dikabarkan telah meninggal dunia. Yang membuat bergidik adalah penyebab perempuan malang itu berpulang. Ia meninggal sehari setelah melakukan aborsi yang keempat. Empat kali melakukan aborsi, dan yang terakhir ini berakibat sangat fatal. Saya termenung. Sekilas terlintas wajah Aw Karin saat meliuk-meliuk mengikuti irama musik rap yang kurang enak. “Kalian suci..aku penuh dosa..” kira-kira begitu salah satu penggalan liriknya.

Saya langsung tersadar dan menyesali betapa rusaknya pergaulan masyarakat terutama remaja sekarang. 4 kali aborsi. 4 calon bayi harus gagal melihat bumi Indonesia yang begitu indah ini. Perkara aborsi bukan barang baru bagi saya. Tiga teman saya melakukan hal itu. Satu diantaranya melakukannya hingga tiga kali. Mengingat hal itu saya lantas bergidik ngeri. Namun tiba-tiba saya mendengar ada yang melakukan aborsi ilegal sebanyak 4 kali dan kemudian harus meregang nyawa. Ini benar-benar sudah melewati batas. Seketika kasus Aw Karin yang cuma ngomong jorok dan skip kuliah kedokteran menjadi seperti upil kering diatas tower Indosat yang sinyalnya nggak bagus-bagus amat.

Saya kemudian berpikir. Apa benar Aw Karin merusak moral anak muda?? Atau Karin hanya hadir sekedar menjadi bagian pelengkap, pemanis dari sebuah puzzle yang sangat besar namun kita semua lalai melihatnya. Kita semua mafhum jika urusan lalai memang spesialisasi bangsa besar ini. Banyak peristiwa lalai yang berujung bencana terjadi disini. Sekian juta orang dibantai dalam kurun waktu beberapa bulan saja di tahun 1965 seraya mengiringi seorang jendral korup nan murah senyum naik tahta.  Masyarakat lantas lalai berjamaah karena hanya berfokus pada para Jendral yang diceburin ke sumur di Lubang Buaya. 40 tahun kemudian, alarm peringatan Tsunami di pinggir pantai Banda Aceh rusak sejak bertahun-tahun yang lalu dan dinas terkait berkelit seribu bahasa. Mereka lalai memperbaiki alat tersebut. Alhasil 120 ribu jiwa tersapu gelombang laut, sehari setelah Natal dan hanya menyisakan kota yang porak poranda. Terbukti sudah. Lalai memang salah satu bakat alamiah bangsa ini, selain munafik tentunya.

Lantas dimana hubungannya Aw Karin dengan sikap lalai masyarakat Indonesia?? Ya itu tadi. Selain lalai dan munafik, bangsa Indonesia dianugerahi sifat “overwhelm” yang sangat akut. Jangankan tayangan perempuan oriental mengemut batang kemaluan pria yang ditayangkan ilegal di video tron Jakarta Selatan kemarin, bapak-bapak terjatuh dari motor saja bisa jadi pertunjukan menarik yang mengundang masa, menghadirkan kemacetan dan menjadi distraksi. Inilah kata kunci penghubungnya. Distraksi.

 Histeria unggahan Karin di media sosial viral dan tak terbendung hingga KPAI pun turun tangan ikut gatal memberesi moral bocah ingusan yang ukuran dadanya nggak sebesar egonya itu. Sambil disaat yang bersamaan belasan serial dan FTV norak bernuansa pembodohan bebas berkeliaran di layar kaca tanah air, ditonton oleh remaja-remaja pinggiran kota yang lugu mengarah ke dungu. Memang di Indonesia bodoh selevel lebih dimaklumi daripada berpakaian serampangan misalnya. Di negeri ini tentunya penguasa akan merasa lebih terancam dengan satu orang cerdas dengan baju terbuka dan tattoo-an (saya nggak bermaksud bilang bahwa Karin cerdas)  ketimbang  puluhan orang sopan santun, penurut, walaupun IQ-nya agak anu. Disinilah distraksi bekerja, menyamarkan, bahkan membentuk propaganda. Jika yang “rebel” dan yang santun sama-sama bisa dibodohi?? Mengapa tidak?? Ini seperti pepatah “Sekali dayung, dua tiga pulau direklamasi”. Buat Karin dan generasinya, buku adalah artefak. Youtube, instagram adalah #LifeGoals. Selamat!! Dunia kita (maya dan nyata) goncang, terusik oleh kehadiran bintang orbitan oleh pihak yang berkepentingan.


Padahal jika kita berani menelanjangi diri seraya melepas atribut religi yang kadang menjadi batas bias antara haram dan suci, mungkin kita bisa lebih jelas lagi melihat inti dari persoalan ini. Karin dan segala kelakuan dalam unggahannya bukanlah barang baru. Bukan aib baru. Bukan dosa baru. Karin bukan manusia pertama di Indonesia yang mengumpat “anjing”, “bangsyat”, “peler”, atau “ngentot” atau apalah itu namanya. Sebagian dari kita pernah mengucapkannya walaupun penuh malu dan diiringi rasa bersalah setelahnya. Sebagian lagi mungkin hanya mendengarnya sebagai ocehan tabu yang menjadi gaul ketika frasa laknat itu diplesetkan menjadi “njir”, “njrit”, “ler”, “konty”, “meki”, “ngentiaw”, “ewi”, “jembrewi” dan sebagainya.

Pun dengan perilaku Karin yang mengarah kepada kegiatan pacaran indehoy  menjurus ke adegan vulgar. Entah sejak tahun berapa praktik sex bebas, prostitusi remaja, aborsi dan kegiatan yang berkaitan dengan esek-esek gandrung di kalangan muda-mudi kota besar Indonesia. Karin bukanlah iblis yang diutus untuk mengupdate dosa lama menjadi dosa baru yang lebih mutakhir dalam ritual membangkang perintah Tuhan. Siapa sih yang nggak pernah berfantasi tentang mencium gadis atau jejaka idaman di belakang kelas sambil kemudian menggerayangi pangkal pahanya. Perkara mewujudkan fantasi itu menjadi nyata adalah hal lain. Itu soal keberanian dan mengambil keputusan. Dan walapun keputusan itu adalah hal yang salah dan buruk dipandang masyarakat, tetap saja bukan yang pertama dan terakhir. Jika nabi Adam dahulu benar mengambil keputusan untuk tidak memakan buah kuldi, tentunya Christiano Ronaldo tidak akan pernah mengangkat Euro Cup dan bahkan tidak pernah tercipta.

Satu-satunya kesalahan Aw Karin mungkin hanya karena remaja malang itu hidup dan besar di era teknologi informasi dikala kita semua masih gagap menyikapinya. Ribuan informasi nggak penting berseliweran di lini masa menguji saringan intelejensi otak kita. Teknologi memangkas banyak hal yang tak mampu kita maknai dengan arif dan bijak. Celah menganga itu yang kemudian diendus oleh hidung-hidung kapitalis kakap maupun enterpreneur bau kencur tapi oportunis yang baru masuk gelanggang. Sebagai contoh : Ketika remaja adalah usia dimana mereka mencari jati diri, pihak yang berkepentingan lantas menghadirkan dua sosok yang mewakili dua kutub yang berbeda, namun tetap satu tujuan. Monetisasi, a.k.a Ujung Ujungnya Duit yang akrab dikenal sebagai UUD.

Di sudut merah, berdiri beringas, marah dan tak terkendali. Aw Karin. Dengan terjangan bak banteng terluka Karin masuk arena mengacak-acak norma. Raungannya keras, memekakkan telinga orang tua yang memiliki remaja putri seusianya.  Karin resah dan meninju balik stigma negatif dengan karyanya yang biasa aja. Kegarangannya berakhir pada endorsement produk-produk jam gaul hippies, casing smartphone anti mainstream, dan apparel bernuansa rebel. Jutaan followernya berbondong-bondong mengikuti gaya mix n match pop culture dan pemberontakan dari Karin yang sangat kekinian. Untuk skala yang lebih massive, Karin diproyeksikan menjadi kandidat pengganti Lady Gaga, kena narkoba, dan positif HIV AIDS untuk kemudian menularkannya kepada seperempat penduduk bumi. Nasa dan CIA lantas menemukan serum dan menjual obat penawarnya di gerai Indomaret.

Di sudut biru, meriah namun sopan dan murah senyum. Ria Ricis. Tampil Syar’i dengan gamis-gamis trendy masa kini, Ricis meruntuhkan pertahanan jomblo-jomblo yang merindukan kekasih solehah. Dengan selera humornya yang ngepas, Ricis tetap semangat membagikan postingan yang dia pikir lucu dan menghibur. Tujuannya jelas, menciptakan Indonesia yang santun, relijius namun tetap kekinian. Warna-warni postingan Ricis bermuara pada iklan busana wanita, aneka riasan wajah dengan label halal dan endorsement seblak instan rasa nasi kebuli. Jutaan fans fanatiknya kemudian meniru kesantunan dan kemeriahan Ricis untuk mendapat status “istri solehah idaman laki ganteng  mirip Erdogan”. Untuk jangka panjangnya Ricis akan diduetkan dengan Tae Min dari grup K-Pop Shine menyanyikan lagu reliji “Ta’aruf di Pyongyang”. Karuan, single tersebut meng-grab dua basis fans sekaligus. Fans Ricis yang solid dan tentunya K-Popers yang militan. Jutaan abg seluruh dunia menyerbu gerai Alfamaret berburu CD terbaru Ricis feat Taemin.


Dan masih saja kita lalai melihat fakta-fakta tersebut. Kita lebih asik mengutak-utik motif personal dari Karin yang dikisahkan dahulu mempunyai segudang prestasi. Ya, katakanlah Karin adalah korban dari sebuah sistem kejam yang melatarbelakangi perilaku amoralnya. Karin adalah azab yang menampar keras pipi orang tua seluruh Indonesia. Karin muncul sebagai penanda bahwa sekarang kita telah memasuki era dimana dosa bukan waktunya lagi disimpan rapat dalam lemari sambil sesekali ditengok ketika rindu. Dosa adalah aku, dosa adalah kita.

Lalu sekarang coba jawab, bagian moral mana yang dirusak oleh Karin?? Karena kita semua berdiri diatas kerusakan yang sama. Yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Tanah dimana kita mengais nafkah adalah tanah yang malu-malu memaklumi pelacuran selama menyokong perekonomian keluarga, kota dan bahkan negara. Tanah tempat kita tinggal adalah tanah dimana seorang nenek pencuri ranting dihukum sama beratnya dengan koruptor miliaran rupiah. Seribu Karin pun tidak akan sanggup menutupi kenyataan buruk dan kerusakan moral yang ada di depan mata. Tapi sudah lah tak usah dijawab, kalian memang suci, aku penuh dosa.





Ps : Tulisan ini dibuat sebagai distraksi dari isyu gencar seputar Pilgub DKI 2017. Dikabarkan salah satu Cagub makan nasi Padang lauk cincang pake tangan kiri. Katanya sih kurang reliji, nggak sopan, tangan kiri kan tangan cebok.



Rabu, 14 September 2016

Hail Holiday! Part 1



Ini sebenernya tulisan lama bener, tapi gue upload ulang karena mau rilis part 2 nya setelah tertunda sekian tahun. Yang udah pernah baca lumayan bisa sekedar mengenang, yang belum yaaaaaa jadi bahan bacaan senggang dikala kerjaan kantor semakin kaya jembut. Hahahaha. Enjoy!!


Hail Holiday…,

The biggest day finally has come. After all moslems celebrated Idul Fitri, we go through the plan. Going   to Thousand    Island. Yes    thousand   island, I know it sounds like kind of sauce that we put on the top of our pizza hut goddamn expensive salad, but it’s not. We’re talking about almost forgotten island in the north of Jakarta.  One of them was the first soil that V.O.C took over from us. They crossed the sea and conquered the whole fucking Nation then.  The name of Thousand Island is not represents the number of it. It’s all because our elder were too lazy or too stupid to count. Once upon a time after all day debating, they were just saying, “ Okay, lets make it thousand then “. That’s the history of thousand island’s name, the place that we can count on to tan our lousy skin.  Some of us were born with black shitty skin though, but I know we still need a sunshine. A good sunshine, I mean, to cheer the mood up. Because you know.., Jakarta has been sucking our mood out, and leave nothing. We all just empty souls that need salvation, in this case, vacation, is more than enough. God just take me out of this place.

The vacation, was started at somewhere near our school. It’s all  because that’s the only possible meeting point, and also the center of area. The heart of our   beloved  Klender. Or maybe we just missed our school, missed the morning air, the ambience of going away to school again and stuff like that. And since we were stepped our feet on the first grade, we all know that the rule is.., We should have been there just in time, well in this case probably couple minutes before five., so we can take the first boat at seven and off this damned town. But God knows, it’s always hard as hell to change what we used to do for years. The habit is too hard to break.. Some friends, that include me, were coming late, not that late, but it’s still late. Wise guy says, late is late. And nothing you can’t do about it but sorry. But we’re not a bunch of wise guy who ever went the same school and stuff, We’re just can-I-say normal people. I’m sure as hell we weren’t feeling sorry about it. You know, it was just, gone with the early morning wind. The sorry feeling. was .never really existed anyway. Then we say hi like there’s nothing happened. Nobody grouches about who’s late-who’s not. We’re fine. Nothing to feel sorry about. In Jakarta, everyone is late. And even you want to say how bad you feel about the sorry thing is, it doesn’t matter anymore, because it’s too late. It’s always too late.  

And after all the late stuff, we still can find what is the brightest side of it. It doesn’t take too long to gather holiday hunger bastards like us. Within ten minutes, we’re ready to get off. So we took a not-so-called minibus that gives me a tiny space to sit in. One of my friend, rented that rotten car from a guy who have known that we’re only hopeless bastards that only want to get out. I bet he knows that we’re not gonna complaining at all, even there’s so many things we can complain about. Absolutely he didn’t give a fuck, so did I, and the rest of us.

I know,  it’s hard to stand something that you don’t like or something that you can’t imagine someday you’ll stand for it anyway. But you know, for me, that’s  fine, everything’s fine. I got my ass cramped.  My balls, I can’t even feel it anymore, it’s numb, the fucking tiny seat, that’s the reason, but it’s still fine. And I almost break my goddamn feet, because my pathetic friends were put their world class heavyweight champion bag on it. But I’m fine, as fine as my acting to pretending how fine that situation made me too fine to say to the entire fucking car that I’m FINE.

So what about my friends??? They acted everything’s fine too. I just can see in their eyes, they have something to say about. Maybe they want to talking shit about the fucking ride, about the smoke that filled the tiny car up ( some friends had no problem with smoking in wee fucking space ), or about the inconvenient situation. But they  just can’t spit it out. They just can’t. Even  if  they really  want to, and can’t stand for more. What can we say?? That’s the best we got. The cheapest ride we’ve ever paid. We swapped the price with that lousy ride. And I swear to God we were in a terrible state, because we still can laugh our ass out, like nothing happen. Well actually, something happened. Some of us were hangin’ outside the car. There’s no more room for them. But they just laugh. I know, something forced us. The fucking basic needs. You want to know what the hell is our basic needs. Cheapest price. That’s our basic needs. So humanity.

We all know that the minibus was way way over passengers and bags though, but once again, we did just fine, or maybe still pretending everything’s fine. We didn’t give a shit about it. We’ve grown up perfectly. Being a normal people in this shite town. What do you know about normal people?? Normal people who lives in Jakarta?? Sure as hell you know, but you just forgot. Normal people ( in this case, who lives in Jakarta ), never really care about those fucking safety regulations.  They don’t care about chance of getting killed due to breaking the rules. Those fucking basic rules. The rules are.., no rules!  Fuck with traffic lights, safety belts, no phone while driving, maximum capacity???? What the fuck is maximum capacity??  never heard it. We can carry a whole lot of lousy poor family in one motorcycle. We can carry every shit in this world. That’s we made for. We got through it. The unpleasant way, inconvenient situation, reckless moment, and stuff like that.

In normal world, shit always happen. But not in ours, we’re the only one who called shit. We are the shit itself. And shit never happened to any other shit. That’s why we’re always breaking every rules that ever made. We way too far from that civilized thing. We’re not goddamn western people. We’re the barbarian. We see what we can see, think what we can think, do what we  just can do, never had a sense about it. So, who’s the one  in this fucking car needs regulation anyway, when you got pure fucked up life leaving behind. No one. We just want to out of town, to the fucking island. Release our stress off. The cure sings “ I don’t care if Monday blue.. “, but I do care, because my Monday, my bloody Monday, would be  as blue as the ocean that ain’t far away. That’s why I prefer Jason Mraz and wondering the beaches we walk, with the gale blows across my fucking hair. It could turns my mood on. Makes me feel alive. I even would risk all my fucking life breaking rules by taking that fully shit loaded vehicle just to get the feeling of being a free man a little while on the island.

Talking about freeman. I was the number one freeman of the world. I can say everything I want to say, do what I want to do, go as far as I want to go, and no one can complain about. 2007, that’s the year of my remarkable journey as a freeman. I got fired from a  Singa-fucking-poor restaurant. I worked there, as a cook helper for a seven hellish months. Not my dream job, I did just for money, at the time. I earned couple cash, not that much, but I’m  feeling grateful anyway. My boss, is a cute oriental girl who is older than me and has a white skinny body.. She’s  cute as hell and sometimes makes me wondered that I could date her someday as a friend, a closest friend maybe.  So I could kiss her after a serial of hot date, take her drunk body to her apartment and take her gorgeous gown off while I’m watching her pretty-pink lips. And what I do next is making a wildest intercourse that You’ve ever imagine. And  no laws can charge me. I’m a freeman, remember. Well she’s too cute to resist anyway.  . I’ve always been thinking about it everyday. How does it feel, fucking a drunk girl. It drives me crazy. Seriously I’m pretty crazy about it.

But too bad, my dream would never come true. Poor me. Because like I said I was a freeman. Nothing can’t bond me. Including the rules. The way I live my life  is the only reason why I always break it. In the next two months, she fired me. My dream sexual-mate fired me. Fuck. Well actually she never fired me. I’m just quit. I did a real quit. Even she’s only warned me. Then she gave me that fucking letter.., the most scariest letter for every hopeless employee in this goddamn country.  What we call SP 1 in English anyway??? Yes, she gave me that, because I always coming late. And that day, I was late ( again ), for almost a hundred times I guess. I came over, in my very cool and calm state, like nothing happened. No guilty feelings. No fear at all. All I did was took a look around, everyone was busy as hell as usual. I slowly walked my lazy feet while I’m feeling like I’m the only one sane human being there.

I looked slightly to my left, my work-mate, he fried something, and the others were busy to shouted out loud, looking for a fool costumer. They always shout it loud, that welcoming words. And the place next to my restaurant is a furniture store that especially selling bed and something. I never heard a  single sound there. Them girls were  always whispering and put a big fucking world-wide fake smile instead of shouting. That kills me. The point of my story is, I was late, and no one cares. Well, if they really is, they shouldn’t have to. None of their  fucking business anyway. Just don’t be such a nosey. In case someday they’re coming late, well I’m not the person who’s trying to mind their own business. I’m not telling anyone. I don’t even tell my boss. My cute boss. I’m not gonna licking her ass. Late is a common thing. Just let it be. It doesn’t kill you. Right??? And that day was peacefully passed, until my boss, my cute boss suddenly gave me a phone call. She asked me to meet her in the office. She told that somebody is always reporting my attitude in a work time. Every single details. She wasn’t mention any name at all. But I swear it, I know who’s the bastard.

A guy named Vicky. Older than me, ass-licking type, nosey jerk, and pure thief rats. He’s a world-class PHONEY fucker I’ve ever known. He’s always acting like he own the whole fucking restaurant. He pointed himself as a right hand of the owner. And when the boss come over, he ‘s always goes along with them, showing how hard we work our ass out, telling lies about sales, and pretending that everyone there is giving him so much respect as a leader and all. No Shit, he’s the only possible bastard that gave the report. And I’m gonna stab him with a meatballs fork. Sure I will, he pissed me off, right on my face. I even caught him once, stealing goods, and sell ‘em. . But I don’t care, I’m just walking through and put a fake smile on. That’s the way we live our life in harmony. Never minding someone else’s business. But since the first day I met him, I just can look from his eyes and smile, this guy is a phoney. He can’t hide it from me. I read gesture. And from what I had been read, I knew that he’s kind of person that could ruin that. The fucking harmony. I hate him then.

The next day, I came late again and didn’t give a fuck about the warned that my boss gave me. I never stepped a foot on the office. I texted her with a couple lousiest words that crossed my mind. I even said that her golden boy, Vicky is a fucking thief. My boss seemed shock, but I don’t care. On the restaurant, my friends were waiting with their worried faces. I slammed the fucking door, yelled, and kicked the trash bin. He’s not there. And if he is, I’m ready to land my fist right on his goddamn face. For the final act, I spit the foods. Eat my saliva you fucker.

Couple of days later, my friend, the only one who treats me like a human there, texted me. He said that I can take my latest paycheck. Nice. I’m not a fucking slave. I took it then. And what I’ve heard from the people there, my boss wants me get back to work, if I still really want to. But I’m officially quit. A freeman never licked his own spit. That’s what I am, a freeman.

Okay, back to the topic. Holiday. At first, it’s just because me and couple friends had reached to the  nearest island, Untung Jawa, which was its beach succeeded got our dick wet all the way home. Then, a mate by the name Hendra suddenly had the idea. He said “ why don’t we try another island ???“        We don’t even think              what is  going on there,       but we just say “ Yes why not?? “. Plus…, Heri ( one of my mate also ), made a good fucking story. He landed his ass on those beaches first, long time before we do. You know ??? I’m the boy with eagerness , and I just can’t hide it.. Yes if you know me, I’m sort of that type. That’s why he got me, with all those stories. Heri was a good storyteller at the time, and I’m a pretty fucking good listener if I wanted to, in my case, I was so eager and wanted to go to the beach so bad.
He mixed the story very well, reality and fantasy that blew my mind.., I’m fucking serious now,.it was.., really was.

The point is…he got me..He said about snorkeling,  (what the fuck was that..I don’t even know, I only saw it on tv once ) sandy beaches with mirror-like ocean, lot of nudist girls lay down on the shore, elephant barbeque as a supper, good liquor, and to make my day, there’s a pussy that we can count on. Hahaha..the last four is totally bullshit. There’s no possible way Heri would offer me a cunt, even the cheap one. That’s not his style. He’s kind of shy and lil bit religious at once. And by the time he finished the stories, my head was full of expectations, a good one. I never snorkeling before, like I said I only saw it on tv, but it sounds very nice. I don’t know, if it’s right or wrong?? But, when I think about good beaches, my not-so-smart brain always sends a Bali pictures. And the worst part is, it lingers… like my girlfriends perfume. Since I was a kid, until now, people always makes a good-hearing stories about Bali. Pramuka island?? Never crossed my mind, not even a bit.

Well that’s the story. But I even very close to blow my chance to get there. Some stupid events nearly fuck up my  plan. In the last minute, I had a terrible fever. There were a lot of big red dots all over my body. I’m not really sure what it was. I guess it’s some sort of chickenpox or my allergy, because it’s so itchy sometimes. Very irritating. Well that disease eventually  brought me to see the doctor. I was afraid the doctor won’t let me go so. But what happen next was, she said I’m as well as hell. Nothing to worry about. She only gave me couple of medicine that I should take about three times a day. It will take out all the red itchy dots in my body. All of sudden, I felt so healthy then. Never that healthy since I took my first sleeping pills long time ago.

 I know it’s not the medicine, it’s the doctor’s word. You know, sometimes you just believe in person that you never known them well, just because they much more educated than you. Well, if the doctor says, I got a H.I.V virus on my body, I still believe in them anyway. Doctor is more like God to us. Doctor has a power to cure people or set them in the state of being helpless. And no one could ever dare to ask. We can’t ask God can we?? Well we can’t ask the doctor neither. Overall, I had a strong will to heal and ready to carry on my vacation plan. I can even tell you, nothing can stop me. Not my mom, not the disease, and not even horrible disaster like tsunami or something.

It was 7 when we got to Muara Angke. The sun was right above our head. It was hot as hell there.  Way Too hot for 7 am in October. The place was total fucked. Imagine when you mix tomato ketchup, expired yogurt, add a little bit of a fat man sweat on the top of it, and you drink it then. Tasted fucked, right??   I don’t know if you guys have ever been there before, because that’s my second or third times and I still can feel the weird all around me..I mean, the  place was  just like a sad song, with nothing to say, about the life that turned so wrong. Not very far from there, there are so many fancy people living in their fucking fancy houses, riding their fucking fancy sophisticated sport car, while they’re answering phone calls with their smart-fucking expensive-phone.

Well do they know about how fucked Muara Angke is??? Yes, they do. But do they care?? Fuck they don’t. You can see many people there work their life out. Do whatever they can do. Guess, that’s not the proper way to feed their families and all. But they just did it. No questions. They never dare to ask the doctor right?? Well, most of them never ask god neither, I bet. Some faking motivator is always saying about hard work and all. About how close we are from those fucking successful life when we work our ass out. But look at them, people there look so exhausted and I can see from their eyes that they were lose,  long-long time ago. Life forced them. No matter how hard they work their ass out. Their life had been set by capitalism hands. They would never leap that fucking social classes, not even crossed their dream. And  I’m little bit of scared to stare at them straight. I saw the eyes of no options there. Many of them.

And for sure,  suddenly we stole their attention. A bunch of town kids with bags and full of desire on their faces. Yeah we just arrived and made a scene. Lots of people there stared at us. They might think “ what the fuck are you doing here?? “,  or they just envy of our town-look life, or maybe they just don’t care at all. I was just not trying to look very happy or something, because I don’t think most people here like an overwhelming celebration about holiday in their work time. Their fucking endless work time. Muara Angke is the center of fresh fish market in Jakarta. So, don’t ever ask the smell. I’m sort of person that can’t stand fishy smell. I can tell you, it kills me.  I can’t eat fish because of the smell. And Muara Angke is the heaven of fish if you know that. Fish are everywhere. I even saw one right on the road. Dead. And it’s rotten as hell. In a couple minutes, I hold my mouth not to puke. Because it will raise more scene I know. And I don’t want to, I swear it, I don’t want to.

TO BE CONTINUE….